“Tidak akan,” jawabku agak kesal kepada bu lek
ketika ia menanyakannya lagi.
“Apa kamu bilang? Tidak? Sudah dipikirkan
matang-matang?” tanyanya meyakinkan ku untuk kesekian kalinya.
Aku hanya diam saja.
Toh jawabanku pun tak akan menyurutkan niatnya yang menggebu. Dan lagi, alasan-alasan yang ia kemukakan
pasti sama persis seperti sebelumnya.
“Orang seperti
apa yang kamu cari sih nduk? Ndak
habis pikir bu lek itu, kurang apa lagi dia itu? Wis bocahe bagus, sugih,
mapan, pinter, grapyak marang tetanggan,
masih saja ndak bisa membuka hatimu?” nada bicaranya semakin tinggi, dan inilah
saatnya segudang kata-kata akan tumpah ruah.
Dikisahkan silsilah
keluarganya (yang entah benar atau tidak) berdarah biru, latar belakang, karakter
hingga hal yang remeh-temeh yang menurut pandangannya tak cacat sedikitpun.
Diamku
mengekspresikan ketidaksukaanku terhadap bu lek yang terkesan melebih-lebihkan
orang yang akan dijodohkannya dengan ku. Selalu dan selalu membujukku untuk
segera menikah. Ku tinggalkan bu lek yang masih sibuk dengan sejuta ceritanya.
Aku berlari menuju kamar, membanting pintu sekeras mungkin dan menguncinya. Ku
hempaskan tubuhku ke atas ranjang. Ku tatap langit-langit kamar, ada sesuatu
yang meleleh dari sudut mataku.
Akhir-akhir ini, aku memang malas beranjak keluar dari kamarku. Selain
menghindari tatap muka dengan bu lek yang semakin sering datang ke rumah, juga
menghindari pertengkaran kecil dengan romo ku. Sejak penolakan romo terhadap
orang yang ku kasihi bertahun-tahun lamanya itu, hubunganku dengan romo agak
merenggang.
Yang nggak habis ku pikir, penolakan itu bukan berdasarkan apa-apa,
hanya karena jumlah satuan tanggal lahir kami katanya tidak cocok, berarti buruk. Sesungguhnya aku tak peduli dengan semua itu. Aku nggak
percaya barang sedikitpun. Bukankah dalam agama yang ku peluk pun tak mengatur
hal itu? Jodoh telah tertulis di Lauhul Mahfud jauh-jauh hari sebelum kita ada
di dunia. Jauh-jauh hari sebelum kita dilahirkan.
Bukankah baginda nabi juga pernah bersabda bahwa untuk memilih jodoh
yang paling utama itu agama? Tidak perhitungan-perhitungan tanggal lahir.
Satuan-satuan itu tak akan mempengaruhi apapun yang telah tertulis disana.
Namun romo tetaplah romo. Tentu saja beliau masih memegang teguh apa yang menjadi
keputusannya.
Entah setan mana yang merasuki ku sore itu, aku pertama kalinya berani mbadali penuturan romo.
“Ndak-ndak, romo ndak
mau ambil resiko,” tandas romo.
“Romo...” ucapku
memelas, ku tuangkan teh hangat ke dalam cangkir pelan-pelan.
“Nduk, weton mu itu
pahing, sementara dia itu wage, kalian ndak jodoh, gewing artinya. Rejeki
kalian bakal seret jika dipaksakan.” Tuturnya mengambil secangkir teh yang ku
tuang tadi, kemudian menyeruputnya perlahan.
“Tapi Sumi kadung tresno sama mas Joko romo…” ungkapku pada romo
sebagai penegasan atas hatiku yang mulai layu.
“Rumah tangga itu ndak
cukup sekedar modal tresno, mau makan apa nanti kamu? Apa tresnomu itu biso maregi? Iyo?” ujar romo sambil mengatur
pernapasannya yang tak beraturan.
“Sampai kapanpun ndak bakal romo restui. Apa kata orang
nanti jika hidupmu terkatung-katung akibat pernikahan ini? Hidup itu harus
direncanakan nduk cah ayu... jangan grusa-grusu, manut wae sama romo yang sudah
banyak makan asam garam dalam mengarungi kehidupan,” tambahnya dengan
menyeruput tehnya lagi.
“Mo, Sumi mohon,
kabulkan permintaan Sumi kali ini. Rizki sudah ada yang ngatur. Aku sudah ndak
percaya sama mitos-mitos itu,” dengan masih memeluk nampan, tak berani ku tatap
mata romo. Ku alihkan pandanganku pada rintik-rintik hujan yang menawariku
sekelumit ketenangan. Cukup memberiku semangat untuk meluluhkan hati romo.
Tak ku sangka,air muka romo berubah memerah, ungkapanku tadi layaknya
jamu mujarab yang diminumkan pada pasien. Bereaksi cepat sekali. Hanya
sepersekian detik saja.
“Huss... ojo ngawur, ora’ ilok ngomong seperti
itu, jangan menyepelekan adat,” romo meletakkan cangkirnya dengan kasar di atas
cawan yang terletak di meja. Berlalu meninggalkanku yang mematung di muka
hujan. Nampan yang ku peluk tiba-tiba menjatuhkan diri. Menggemakan suara
sumbang benturan aluminium dengan lantai.
Sekelebat angin menghantam gemuruh hatiku yang membahana. Ku lumat
ketakutan yang menyergapku. Tulang-tulang kakiku melemas, seolah tak mampu
menopang tubuhku yang semakin berat saja. Hujan tak lagi jatuh ke bawah, ia
melawan gravitasi bumi, berputar-putar di depan kornea ku. Kursi-kursi
bergoyang, meja pun bergerak ke kiri kanan tak tentu arah. Pohon mengitari
netra ku. Semuanya bergulung-gulung . . . semakin redup, redup, gelap . . . dan
aku tak ingat apa-apa lagi.
#####
Aku mencoba mengenali tempat dimana aku terbaring. Ternyata masih ruang
yang sama. Kamar ku sendiri. Tak ada siapapun yang menunggui ku. Ku hirup aroma
minyak atsiri yang menyeruak. Kaki ku terasa hangat, disampingnya teronggok
balsam yang masih terbuka tutupnya.
Sayup-sayup terdengar suara-suara yang tak asing lagi di kuping ku. Ku pelototi jam dinding yang
tertempel manis di tembok warna ungu tepat 180 derajat dari posisiku sekarang.
Jam sembilan. Ku toleh jendela kaca yang sedikit terbuka, gordyn
melambai-lambai. Hitam pekat.
Batinku bertanya-tanya. Siapa yang masih bertamu malam-malam begini? Ku
paksa tubuhku bangun. Ku ayunkan langkahku menuju pintu, ku raih knopnya,
memutarnya pelan-pelan hingga menimbulkan suara berdecit , namun tak
membuyarkan percakapan-percakapan itu. Aman. Tirai dibalik pintu tak
menghalangiku untuk sekedar mengetahui apa yang mereka mufakatkan. Ya. Lebih
tepatnya memang menguping.
“Mbak yu setuju to
kalau Sumi dikarepke anaknya De
Kartono yang pernah tak cerita’ke
kemaren itu lho...”
Suara itu, sangat ku hafal dalam memori otakku. Ku singkap sedikit tirai
yang menghadang pandanganku. Benar saja dugaanku. Orang yang sama, dengan
tujuan yang masih sama. Siapa lagi kalau bukan bu lek. Semenjak ia tau
hubunganku dengan Mas Joko yang tak mengantongi restu romo. Ia semakin gencar
mempromosikan orang yang menurutnya sempurna itu pada keluargaku. Tak
terkecuali diriku yang menjadi incaran utama.
“Ndak usah khawatir
yu... hidup Sumi akan ditanggung penuh sama dia. Lha wong keturunan ningrat. Setidaknya agar keluarga besar kita ada
yang berbesanan sama darah biru.
Walah..... hartanya jangan ditanya lagi mbak yu....... buanyak, kuaya, dimakan
tujuh turunan pun ndak bakal habis,”
bujuk bu lek semangat.
“Aku sih ndak apa-apa Sri, semua itu kan Sumi
yang akan menjalani. Keputusan ada di tangannya, juga atas persetujuan
romonya,” jawab ibu pasrah.
“Lho...lho..lho...
jangan gitu to yu, mbak yu sebagai ibu juga harus ikut andil dalam masalah ini.
Mengenai masa depan Sumi lho, jangan main-main. Anak mbak yu satu-satunya,
keponakan ku sing ayu dewe. Harus
dapat yang paling baik diantara yang terbaik.” Bu lek mulai ngotot dengan
bujukannya.
Ketika itu, aku tak bersemangat lagi memperhatikan perbincangkan mereka.
Ujung-ujungnya sudah bisa ku tebak. Ibu pasti terpengaruh omongan adiknya itu,
lalu merayu romo... dan aku... tinggal menunggu waktu saja untuk segera menjadi
boneka dari permainan ini.
Ku tutup pintu kamarku. Kali ini lebih keras, agar mereka menyadari
keberadaanku disini. Brang..... ceklek-ceklek.... seperti biasa, ku putar kunci
dua kali. Aku tak ingin diganggu siapapun ketika hatiku sedang surut, termasuk
ibu sekalipun. Tak ku hiraukan suara ketukan pintu yang semakin keras. Nama ku
dipanggil berkali-kali. Ku biarkan saja.
Ku dekati jendela, ku tatap panorama malam yang sayu. Bulan menampakkan
diri dengan gagahnya di balik awan gelap yang resah. Titik-titik hujan
menyisakan perih. Meski tangis mendung telah reda, gemuruh petir dan sayatan
kilat tetap saja meninggalkan jejak pilu di hatiku.
####
"Cepet mbak, manten prianya udah datang,” tukas ibu
menengok jendela.
“Iya, sebentar,” jawab
sosok setengah baya yang merias wajahku sejak pagi tadi.
Ku tatap sepotong
wajah di depan cermin itu. Ku hampir tak mengenali siapa pemilik raut muka itu.
Make up ala putri solo telah mengubah
rupa ku.
“Wis to nduk, ibu tau kamu itu terharu, ndak nyangka to kalau hari
ini merupakan hari bersejarah bagi mu, usap tangis bahagiamu itu, sebentar lagi
kamu akan menjadi Nyonya Hadiningrat,” ucap ibu mengulurkan selembar tissu
padaku.
Pernikahan ini tak
pernah terbayangkan dalam imajiku. Bermimpi pun aku tak sanggup. Semenjak
perundingan malam itu, baik romo maupun ibu tak pernah lagi meminta
persetujuanku mengenai perjodohan ini. Aku harus bersuamikan orang yang belum
pernah ku kenal sebelumnya. Yang katanya keturunan darah biru itu.
Suara gamelan jawa
mengiringi langkah ku keluar menuju pelaminan. Aku terus saja menunduk. Setelah
ijab qobul, sosok yang telah khalal bagiku dipersilahkan bersalaman denganku,
kemudian mengecup keningku.
Deg... hati ku
berdesir, ku angkat wajahku untuk memandangi wajah suamiku.
“Mas Joko........”
ungkapku berbisik.
“Iya, aku lah Mas Joko
mu, Joko Kartono Hadiningrat... dan janjiku yang ku ikrarkan waktu itu telah ku
tepati di pelaminan ini,” jawabnya
berlinangan air mata.
Kini baru aku tau,
memang mas joko tak pernah berkunjung sekalipun ke rumah. Ia minder ketika ku
ceritakan penolakan romo yang hanya berlandaskan weton. Dan perjodohan ini
tak berlandaskan tanggal lahir lagi. Semua telah tertutupi oleh gelar
ningrat.
05/03/12
terbit di majalah Pena Kampus edisi XIX
Post a Comment