Sun Shine Literature

Menantu Pilihan


posted by Unknown on

No comments


“Tidak akan,” jawabku agak kesal kepada bu lek ketika ia menanyakannya lagi.
“Apa kamu bilang? Tidak? Sudah dipikirkan matang-matang?” tanyanya meyakinkan ku untuk kesekian kalinya.
Aku hanya diam saja. Toh jawabanku pun tak akan menyurutkan niatnya yang menggebu.  Dan lagi, alasan-alasan yang ia kemukakan pasti sama persis seperti sebelumnya.
“Orang  seperti apa yang kamu cari sih nduk? Ndak habis pikir bu lek itu, kurang apa lagi dia itu? Wis bocahe bagus, sugih, mapan, pinter, grapyak marang tetanggan, masih saja ndak bisa membuka hatimu?” nada bicaranya semakin tinggi, dan inilah saatnya segudang kata-kata akan tumpah ruah.
Dikisahkan silsilah keluarganya (yang entah benar atau tidak) berdarah biru, latar belakang, karakter hingga hal yang remeh-temeh yang menurut pandangannya tak cacat sedikitpun.
Diamku mengekspresikan ketidaksukaanku terhadap bu lek yang terkesan melebih-lebihkan orang yang akan dijodohkannya dengan ku. Selalu dan selalu membujukku untuk segera menikah. Ku tinggalkan bu lek yang masih sibuk dengan sejuta ceritanya. Aku berlari menuju kamar, membanting pintu sekeras mungkin dan menguncinya. Ku hempaskan tubuhku ke atas ranjang. Ku tatap langit-langit kamar, ada sesuatu yang meleleh dari sudut mataku.
Akhir-akhir ini, aku memang malas beranjak keluar dari kamarku. Selain menghindari tatap muka dengan bu lek yang semakin sering datang ke rumah, juga menghindari pertengkaran kecil dengan romo ku. Sejak penolakan romo terhadap orang yang ku kasihi bertahun-tahun lamanya itu, hubunganku dengan romo agak merenggang.
Yang nggak habis ku pikir, penolakan itu bukan berdasarkan apa-apa, hanya karena jumlah satuan tanggal lahir kami katanya tidak cocok, berarti buruk. Sesungguhnya  aku tak peduli dengan semua itu. Aku nggak percaya barang sedikitpun. Bukankah dalam agama yang ku peluk pun tak mengatur hal itu? Jodoh telah tertulis di Lauhul Mahfud jauh-jauh hari sebelum kita ada di dunia. Jauh-jauh hari sebelum kita dilahirkan.
Bukankah baginda nabi juga pernah bersabda bahwa untuk memilih jodoh yang paling utama itu agama? Tidak perhitungan-perhitungan tanggal lahir. Satuan-satuan itu tak akan mempengaruhi apapun yang telah tertulis disana. Namun romo tetaplah romo. Tentu saja beliau masih memegang teguh apa yang menjadi keputusannya.
Entah setan mana yang merasuki ku sore itu, aku pertama kalinya berani mbadali penuturan romo.
“Ndak-ndak, romo ndak mau ambil resiko,” tandas romo.
“Romo...” ucapku memelas, ku tuangkan teh hangat ke dalam cangkir pelan-pelan.
“Nduk, weton mu itu pahing, sementara dia itu wage, kalian ndak jodoh, gewing artinya. Rejeki kalian bakal seret jika dipaksakan.” Tuturnya mengambil secangkir teh yang ku tuang tadi, kemudian menyeruputnya perlahan.
“Tapi Sumi kadung tresno sama mas Joko romo…” ungkapku pada romo sebagai penegasan atas hatiku yang mulai layu.
“Rumah tangga itu ndak cukup sekedar modal tresno, mau makan apa nanti kamu? Apa tresnomu itu biso maregi? Iyo?” ujar romo sambil mengatur pernapasannya yang tak beraturan.
“Sampai kapanpun ndak bakal romo restui. Apa kata orang nanti jika hidupmu terkatung-katung akibat pernikahan ini? Hidup itu harus direncanakan nduk cah ayu... jangan grusa-grusu, manut wae sama romo yang sudah banyak makan asam garam dalam mengarungi kehidupan,” tambahnya dengan menyeruput tehnya lagi.
“Mo, Sumi mohon, kabulkan permintaan Sumi kali ini. Rizki sudah ada yang ngatur. Aku sudah ndak percaya sama mitos-mitos itu,” dengan masih memeluk nampan, tak berani ku tatap mata romo. Ku alihkan pandanganku pada rintik-rintik hujan yang menawariku sekelumit ketenangan. Cukup memberiku semangat untuk meluluhkan hati romo.
Tak ku sangka,air muka romo berubah memerah, ungkapanku tadi layaknya jamu mujarab yang diminumkan pada pasien. Bereaksi cepat sekali. Hanya sepersekian detik saja.
“Huss... ojo ngawur, ora’ ilok ngomong seperti itu, jangan menyepelekan adat,” romo meletakkan cangkirnya dengan kasar di atas cawan yang terletak di meja. Berlalu meninggalkanku yang mematung di muka hujan. Nampan yang ku peluk tiba-tiba menjatuhkan diri. Menggemakan suara sumbang benturan aluminium dengan lantai.
Sekelebat angin menghantam gemuruh hatiku yang membahana. Ku lumat ketakutan yang menyergapku. Tulang-tulang kakiku melemas, seolah tak mampu menopang tubuhku yang semakin berat saja. Hujan tak lagi jatuh ke bawah, ia melawan gravitasi bumi, berputar-putar di depan kornea ku. Kursi-kursi bergoyang, meja pun bergerak ke kiri kanan tak tentu arah. Pohon mengitari netra ku. Semuanya bergulung-gulung . . . semakin redup, redup, gelap . . . dan aku tak ingat apa-apa lagi.

#####

Aku mencoba mengenali tempat dimana aku terbaring. Ternyata masih ruang yang sama. Kamar ku sendiri. Tak ada siapapun yang menunggui ku. Ku hirup aroma minyak atsiri yang menyeruak. Kaki ku terasa hangat, disampingnya teronggok balsam yang masih terbuka tutupnya.
Sayup-sayup terdengar suara-suara yang tak asing lagi di kuping ku. Ku pelototi jam dinding yang tertempel manis di tembok warna ungu tepat 180 derajat dari posisiku sekarang. Jam sembilan. Ku toleh jendela kaca yang sedikit terbuka, gordyn melambai-lambai. Hitam pekat.
Batinku bertanya-tanya. Siapa yang masih bertamu malam-malam begini? Ku paksa tubuhku bangun. Ku ayunkan langkahku menuju pintu, ku raih knopnya, memutarnya pelan-pelan hingga menimbulkan suara berdecit , namun tak membuyarkan percakapan-percakapan itu. Aman. Tirai dibalik pintu tak menghalangiku untuk sekedar mengetahui apa yang mereka mufakatkan. Ya. Lebih tepatnya memang menguping.
“Mbak yu setuju to kalau Sumi dikarepke anaknya De Kartono yang pernah tak cerita’ke kemaren itu lho...”
Suara itu, sangat ku hafal dalam memori otakku. Ku singkap sedikit tirai yang menghadang pandanganku. Benar saja dugaanku. Orang yang sama, dengan tujuan yang masih sama. Siapa lagi kalau bukan bu lek. Semenjak ia tau hubunganku dengan Mas Joko yang tak mengantongi restu romo. Ia semakin gencar mempromosikan orang yang menurutnya sempurna itu pada keluargaku. Tak terkecuali diriku yang menjadi incaran utama.
“Ndak usah khawatir yu... hidup Sumi akan ditanggung penuh sama dia. Lha wong keturunan ningrat. Setidaknya agar keluarga besar kita ada yang berbesanan sama darah biru. Walah..... hartanya jangan ditanya lagi mbak yu....... buanyak, kuaya, dimakan tujuh turunan pun ndak bakal habis,” bujuk bu lek semangat.
“Aku sih ndak apa-apa Sri, semua itu kan Sumi yang akan menjalani. Keputusan ada di tangannya, juga atas persetujuan romonya,” jawab ibu pasrah.
“Lho...lho..lho... jangan gitu to yu, mbak yu sebagai ibu juga harus ikut andil dalam masalah ini. Mengenai masa depan Sumi lho, jangan main-main. Anak mbak yu satu-satunya, keponakan ku sing ayu dewe. Harus dapat yang paling baik diantara yang terbaik.” Bu lek mulai ngotot dengan bujukannya.
Ketika itu, aku tak bersemangat lagi memperhatikan perbincangkan mereka. Ujung-ujungnya sudah bisa ku tebak. Ibu pasti terpengaruh omongan adiknya itu, lalu merayu romo... dan aku... tinggal menunggu waktu saja untuk segera menjadi boneka dari permainan ini.
Ku tutup pintu kamarku. Kali ini lebih keras, agar mereka menyadari keberadaanku disini. Brang..... ceklek-ceklek.... seperti biasa, ku putar kunci dua kali. Aku tak ingin diganggu siapapun ketika hatiku sedang surut, termasuk ibu sekalipun. Tak ku hiraukan suara ketukan pintu yang semakin keras. Nama ku dipanggil berkali-kali. Ku biarkan saja.
Ku dekati jendela, ku tatap panorama malam yang sayu. Bulan menampakkan diri dengan gagahnya di balik awan gelap yang resah. Titik-titik hujan menyisakan perih. Meski tangis mendung telah reda, gemuruh petir dan sayatan kilat tetap saja meninggalkan jejak pilu di hatiku.

####

"Cepet mbak, manten prianya udah datang,” tukas ibu menengok jendela.
“Iya, sebentar,” jawab sosok setengah baya yang merias wajahku sejak pagi tadi.
Ku tatap sepotong wajah di depan cermin itu. Ku hampir tak mengenali siapa pemilik raut muka itu. Make up ala putri solo telah mengubah rupa ku.
Wis to nduk, ibu tau kamu itu terharu, ndak nyangka to kalau hari ini merupakan hari bersejarah bagi mu, usap tangis bahagiamu itu, sebentar lagi kamu akan menjadi Nyonya Hadiningrat,” ucap ibu mengulurkan selembar tissu padaku.
Pernikahan ini tak pernah terbayangkan dalam imajiku. Bermimpi pun aku tak sanggup. Semenjak perundingan malam itu, baik romo maupun ibu tak pernah lagi meminta persetujuanku mengenai perjodohan ini. Aku harus bersuamikan orang yang belum pernah ku kenal sebelumnya. Yang katanya keturunan darah biru itu.
Suara gamelan jawa mengiringi langkah ku keluar menuju pelaminan. Aku terus saja menunduk. Setelah ijab qobul, sosok yang telah khalal bagiku dipersilahkan bersalaman denganku, kemudian mengecup keningku.
Deg... hati ku berdesir, ku angkat wajahku untuk memandangi wajah suamiku.
“Mas Joko........” ungkapku berbisik.
“Iya, aku lah Mas Joko mu, Joko Kartono Hadiningrat... dan janjiku yang ku ikrarkan waktu itu telah ku tepati di pelaminan ini,”  jawabnya berlinangan air mata.
Kini baru aku tau, memang mas joko tak pernah berkunjung sekalipun ke rumah. Ia minder ketika ku ceritakan penolakan romo yang hanya berlandaskan weton. Dan perjodohan ini  tak berlandaskan tanggal lahir lagi. Semua telah tertutupi oleh gelar ningrat.

05/03/12
terbit di majalah Pena Kampus edisi XIX