Sun Shine Literature

HA (PE)?


posted by Unknown on

No comments

animasi: hanestydotcom.blogspot.com



Aku bergetar dan berdering untuk kesekian kalinya, namun tak seorangpun mengangkatku. Ku terdiam kembali selama beberapa menit.
“Hah..? 17 missed call?”, katanya heran sambil memegangku erat.
Wajahnya tampak tegang dan panik tidak karuan. Segera ia memanggil ulang, namun beberapa kali pula hanya terdengar suara mail-box. Ia membantingku di atas sofa.
Aku tersenyum bangga meskipun diriku dilemparkan begitu keras. Karena sebentar lagi pasti ia akan kena semprot dari wanita yang tadi menelfonnya.
Aku hampir sekarat tiap hari, bahkan terkadang mati. Ia selalu membawaku kemanapun ia pergi. Ia hanya akan meletakkan ku ketika mandi, dan  buruknya, ia tak pernah mengecas ku ketika itu. Bahkan saat tidurpun aku diletakkan di dekat wajahnya di atas bantal.
Sungguh tak berperasaan, ia selalu memforsirku, mulai dari telfon ceweknya, smsan nggak penting, YM-an, twitteran, facebookan, BBM-an, hingga membuka situs-situs amoral dan mendownloadnya. Memalukan!
Ia mengelap tubuhnya yang masih basah dan segera ganti baju. Ia menaruhku di saku jaketnya. Ku cium aroma parfum baru, tak seperti biasanya. Ingatanku melayang, dua hari yang lalu ia ulang tahun dan mendapat setumpuk kado dari wanita-wanita yang menjadi pacarnya. Parfum ini salah satunya.
 Dasar playboy ! memang ia punya modal untuk itu. Dilihat dari segi manapun udah kelihatan perfect banget. Mulai dari tampang yang nggak usah diragukan lagi, tajir, smart, jago basket, dan dengan senyuman mautnya yang membuat cewek klepek-klepek.
Ku mendengar suara mobil berderu keras, dan sepersekian detik melaju kencang. Sampai di sebuah tempat, mobil berhenti. Ia mengeluarkan ku dari saku jaketnya. Ia mengetik sms, tak lama kemudian ada seorang cewek yang mendekatinya, dan tiba-tiba menamparnya.
‘‘Ngapain kesini? Dah selesai acaranya,” ujar cewek tersebut ketus.
‘‘Sorry say, tadi gue tu lagi mandi, makanya nggak denger lo telfon,” ucapnya memelas.
Namun si cewek tak menggubris, dan segera meninggalkannya.
‘‘Sial,” umpatnya keras.
Ia segera masuk mobil dan membanting pintunya sangat keras. Aku berdering ketika ia akan menghidupkan mesin mobil. Nan jauh disana terdengar suara sang mama yang menangis tersedu-sedu, tak jelas apa yang dibicarakan, intinya sang mama menyuruhnya ke kantor polisi.
Hah? Kantor polisi? Aku kaget bukan kepalang. Apa yang terjadi? Apa yang membuat beliau menangis? Di kantor polisi pula.
Kecopetan? Rasanya nggak mungkin, ia tak pernah menaruh uang dan barang-barang berharga dalam tasnya, ia punya tempat pribadi yang sangat aman dan tak ada seorangpun yang tau, kecuali dia sendiri, aku, dan Tuhan tentunya.
Korban perkosaan? Lebih nggak mungkin lagi, emang sih cantik dan anggun, tapi siapa yang tau dibalik semua itu ia jago bela diri.
 Sepanjang jalan menuju kantor polisi, aku berdering beberapa kali juga sms beruntun yang masuk hampir memenuhi inbox, namun ia tak sedikitpun memegangku, hanya melirik ku sebentar, wajahnya tampak tegang
Sesampainya di kantor polisi, ia tetap membiarkan ku di tempat semula, di jok sebelahnya dalam mobil. Sehingga aku tak tau apa yang terjadi dengan mamanya di dalam kantor polisi. Tak lama kemudian, ia kembali ke mobil, dan melaju kencang menjauhi kantor polisi.
Apa yang terjadi sebenarnya? Rasa penasaranku semakin membuncah. Aku berdering dan ia segera mengangkatku.
“Apalagi sih ma?”
“kamu mau kemana nak? Tolong mama,”
“Udah ma, aku nggak mau tau, papa harus segera keluar, sebelum media massa tau, mama harus cari pengacara terhebat, aku malu ma, apa kata temen-temen nanti kalau ayah seorang Satriyo terdakwa kasus korupsi? Dana buat anak-anak yatim lagi”
Segera ia memencet tombol merah. Aku tak tau apa reaksi mamanya ketika pembicaraanya diakhiri oleh anak emasnya itu. O..., jadi ini masalahnya, bokapnya terjerat kasus korupsi. Laju mobil semakin kencang tak terkendali, dan tiba-tiba Braakkkkk...,aku tak ingat apa-apa lagi.
**************
Ketika aku hidup kembali, diriku dalam genggaman seorang wanita berperawakan tinggi semampai, wajahnya cantik, dengan dandanan menor dan pakaian seksi.
“Lumayan, masih bisa hidup lagi, meskipun pemiliknya sedang melawan maut di rumah sakit,” gumamnya sambil tertawa.
Untunglah aku diselamatkan wanita ini, aku terbebas dari cengkeraman si playboy durhaka itu.
Sebuah kartu perdana baru telah disematkan dalam tubuhku. Aku diletakkan di atas meja di ruang tengah ketika terdengar ketukan pintu. Rupanya ada tamu istimewa, mungkin pacarnya, pantas saja ia berdandan seperti itu.
Canda dan obrolan mereka di ruang depan tak terdengar lagi, mungkin sudah lelah. Waktu dalam diriku menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Aku benar-benar lega bisa beristirahat sesuka hati tanpa harus diganggu telfon dan sms nggak penting. Aku berdering dan bergetar untuk pertamakalinya dengan nomor baru.
Aku terkejut ketika seseorang menghampiri dan mengambilku dari meja. Aku seperti pernah kenal, ya, bukan pernah kenal lagi, tapi sangat kenal. Bukankah ia yang tadi pagi ditahan di kantor polisi karena dugaan korupsi? Tapi kenapa sekarang sudah bebas dan ngelayap kesini? Ada hubungan apa antara dia dan wanita yang menyelamatkan ku? Ah mungkin adiknya, atau keponakannya. Aku sibuk menebak-nebak sendiri.
“Sayang, ada telfon ni,” panggilnya.
Sayang? Aku terkejut lagi. Siapa yang dipanggilnya sayang selain wanita pemilik diriku.
“ Udah, biarin aja, paling juga orang iseng, ” sebuah suara yang bersumber dari kamar wanita itu.
Diletakkannya kembali diriku ka atas meja. Dan ia segera menyusul wanita itu ke dalam kamar.
Aku benar-benar pusing, ada apa ini? Kenapa dia ada disini, bukankah putra satu-satunya siang tadi mengalami  kecalakaan bersama ku? Dan kata wanita tadi sedang kritis di rumah sakit. Ah sudahlah, aku ingin menikmati istirahatku. Aku tak ingin memikirkan lagi cowok yang selalu menyiksa ku, memforsir tenaga ku tanpa perasaan dan menggunakan ku  untuk hal-hal yang nggak penting dan berdosa. Aku pun sudah nggak  peduli masihkah ia hidup atau sudah didatangi malaikat maut.
Mentari  begitu cerah menampakkan sinarnya, seperti senyum ku pagi ini  yang telah bebas merdeka dari cengkeraman si playboy. Wanita itu berjalan menghampiriku dan membawa ku bersamanya di dapur. Ia menghidupkan mp3 ku dan sesekali ikut menyanyi di sepanjang ia  memasak. Ku lihat jari-jari lentiknya terampil memasukkan bumbu, telur, dan nasi ke dalam wajan. Beberapa menit saja makanan sudah tersaji di atas meja makan.
“Silahkan,”  ucapnya pada laki-laki yang telah duduk lebih dulu.
Sambil sarapan, mereka berbincang-bincang dan bercanda layaknya remaja yang sedang dilanda asmara.
“Kamu tenang aja, aku akan segera meresmikan hubungan kita,” kata laki-laki itu mantap.
Apa? Aku kaget bukan main, wanita yang lebih pantas menjadi anaknya itu akan dinikahinya? Bagaimana respon istri dan anaknya nanti?
“Tapi,……….” Jawabnya ragu.
“Nggak papa, aku nggak akan menceraikan istriku, aku akan meminta persetujuannya untuk menikahimu,”
Nggak mungkin istrinya akan menyetujui, apa kata orang nanti jika seorang wakil rakyat ternama berpoligami, dengan gadis muda yang seumuran dengan anaknya lagi.
“Jika ia tak mengizinkan, aku akan mengancam menceraikannya, dengan begitu ia pasti  setuju saja, dan kau akan menjadi nyonya muda Adi Wibisono,” ucapnya tersenyum dan memegang tangan wanita itu.
Kurang ajar, aku tak segan-segan mengumpatnya. Tega benar ia menghianati janji suci pernikahannya dengan istrinya. Pantas saja anaknya juga plaboy, jadi ini penyakit turunan yang menular dari papanya…,aku terus menggerutu.
“Lalu bagaimana dengan anakmu?” tanyanya penuh harap.
Jelas si playboy akan menentang. Dia kan mahasiswa yang selalu kritis terhadap masalah, apalagi menyangkut keluarga. Ia juga selalu menjaga prestise  dirinya di hadapan teman-temannya. Maklumlah, kuliah di Universitas ternama, harga diri sangatlah penting, aku terus menjawab sesuka hatiku.
“Gampang, Satriyo akan setuju-setuju saja, dia itu mudah diatur, jika ia tak mempersetujui rencanaku ini, mobil, kartu kredit, dan segala fasilitas yang ku beri akan aku sita, dengan begitu ia pasti akan  mengiyakan. Kau lihat saja, sekarang hapenya telah berpindah tangan jadi milikmu bukan?” ujarnya bangga.
Wanita itu hanya merespon dengan senyuman sinis, ia tak banyak bicara lagi. Setelah menyelesaikan sarapannya, laki-laki itu berpamitan.
Nasibku disini tak lebih baik, tenaga ku semakin diforsir. Bahkan ketika mandi aku pun dibawanya, berendam di bathtub  sambil mendengarkan lagu-laguku. Beruntungnya ia masih mau mengecasku saat ia tidur.
Selama beberapa hari disini, aku jadi tau, profesinya sebagai model, namun belum terkenal. Ia mengambilku untuk menelfon seseorang.
“Pa, rencana kita selangkah lagi akan berhasil,” katanya bersemangat.
“Lanjutkan sesuai perintahku sampai ia benar-benar menyesal karena berani mengalahkanku,” suara dari seberang dengan nada dendam.
Dan klik, ia mematikan telfonnya.
Selama beberapa hari ini, laki-laki yang bernama Adi Wibisono itu tak lagi datang ke rumah wanita ini. Namun, transferan uang, dan segala kebutuhannya tetap ia penuhi. Telfon sudah seperti makan pokok, tiga kali sehari, pagi, siang, malam. Layaknya remaja yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Saling mengumbar rayuan gombal.
Siang ini wanita yang bernama Gadis ini sudah siap untuk bepergian. Dengan make-up yang natural, ia kelihatan lebih cantik daripada berdandan menor seperi saat pertama kali ku melihatnya.
Aku berkedip dan bergetar. Ada pesan masuk. Ia segera mengambilku dari bantal dan menekan tombol kunciku. Sebuah balasan sms-banking saldo rekeningnya.
“Yes,” ucapnya girang.
Kemudian ia bergegas keluar rumah. Taksi yang dipesannya telah datang dan mengantarknnya ke sebuah keramaian, mall tepatnya. Dengan bangga ia mengeluarkan ku dari sebuah tas mewah. Ia memencet tombolku seolah sedang mengetik pesan. Aku yakin ini hanyalah aktingnya untuk memamerkan ku di depan umum. Siapa juga yang tak bangga memiliki diriku, sebuah hape keluaran terbaru dengan fitur terlengkap, tercanggih, dan termahal tentunya. Meski tidak layar sentuh, namun hanya orang-orang elite yag mampu membeliku.
“Cint…..apa kabar?” tiba-tiba salah seorang cewek menghampirinya dengan cipika-cipiki.
Belum sempat Gadis menjawab, si cewek keburu merebut diri ku dari tangannya.
“Waw…, keren cint, beli dimana ni? Sumpah, keren banget, lu nggak ngajak-ngajak  gue sih kalo shoping, jahat ah sekarang” katanya menggeruduk sambil mencubit lengan Gadis.
“Ih, apaan sih, norak deh” jawabnya dengan canda.
“Sekarang gitu ya, sombong, udah kaya ya?” godanya.
“Kaya apa?”  ia  mengambilku lagi dari tangan temannya.
“Kaya monyet cint, hahahahahaha…” tawa mereka bersama.
“Ya udah, gue ke toilet dulu ya, ntar gue nyusul, ketemu di restoran sebelah ya,da…” ujarnya sambil berlari menuju toilet.
Gadis berjalan ke tempat pakaian, sambil memilih gaun mahal yang bermerek. Diletakkannya kembali diriku ke dalam tas. Tak berapa lama, ada seonggok tangan mengambilku lagi, tapi ku tak pernah mengenali telapak tangan ini, begitu dingin dan kasar. Tak seperti tangan Gadis yang lembut dan hangat ketika memegangku.
Aku keluar dari tas tidak melalui jalan biasanya, namun dari sebuah sobekan dari sisi samping tas yang dilukai dengan sebuah cutter tajam. Aku berusaha menjerit sekeras mungkin, namun kebisingan mall menelan mentah-mantah suaraku sehingga tak seorang pun mendengar.
Aku berhasil dipindah tempatkan dari tas bermerek ke dalam saku celana yang dekil dan bau. Aku merasakan sang pemilik celana ini berjalan pelan selama beberapa menit. Setelah ku merasakan panas matahari, mungkin sudah keluar mall, ia berlari sangat kencang, ya, aku bisa merasakan kecepatan larinya.
Sampai di suatu tempat, ia berhenti dan mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan, juga detak jantungnya yang berdetak keras.
“Kenapa? Ketahuan warga?” ku mendengar suara seorang laki-laki dengan garangnya.
“Bukan bang, hari ini aku tak mendapatkan selembar dompetpun…” dan ini dapat ku pastikan suara pemilik celana dekil.
“Guoblok lo…, seharian ngapain aja? Katanya lebih keras.
Kali ini sang pemilik celana dekil jatuh tersungkur, mungkin didorong oleh orang yang dipanggilnya abang tadi. Aku tertindih tubuhnya.
“Sabar bang, aku cuma dapat ini,” katanya sambil mengeluarkanku dari sakunya.
Ku lihat sosok berwajah sangar merebutku dari tangannya, dan memperhatikanku dengan seksama.
“Bagus juga, lumayan lah,” gumamnya pelan.
Ini sih nggak Cuma lumayan, tapi sangat beruntung. Ku terus menggerutu.
“Ini lu bawa, lu bisa pake dulu selama tiga hari, setelah itu lu harus kasih gua, jangan lupa lu ganti kartunya sekarang, agar tak bisa dilacak pemiliknya” katanya sambil menyodorkan ku pada si dekil.
Ku lihat tempat ini sangat kotor. Sebuah gudang di tepi stasiun yang mungkin sudah tak dibersihkan selama bertahun-tahun. Di pojok sana ku lihat abang tadi meminta setoran kepada anak buahnya. Dan mereka mengeluarkan banyak dompet dari saku-saku mereka. Jadi ini kumpulan para pencopet?
Sungguh, sebelumnya aku tak pernah berfikir akan masuk dalam kehidupan orang-orang kecil seperi ini. Karena aku adalah hape termahal yang pernah ada. Tak mungkin orang-orang kecil mampu membeliku, kalangan menengah saja tak sanggup. Tapi inilah jalan hidupku yang digariskan Tuhan.
Ku dibawanya pulang. Ia pamerkan diriku pada wanita tua yang ku tebak ibunya dan anak-anak kecil yang ku tebak adik-adiknya.
“Eh liat mak, dek, kakak bawa apa?” tanyanya riang.
“Apa itu nak? Kau beli remote tipi lagi? Yang kemarin saja masih bisa dipakai,” kata ibunya.
Dua anak di samping ibunya pun melihat ku dengan teliti.
“Bukan mak, yang kakak bawa itu telepon tanpa kabel, apa dek namanya?” kata salah seorang anak yang agak besar.
“Apa ya?” si kecil berfikir keras.
“Yang kayak iklan di tipi tetangga kemarin tu lo dek,” sang kakak berusaha mengingatkan.
“Emm… hape, ya, hape,” jawabnya girang.
“Seratus untuk adik-adik kkak yang pandai” si dekil memberi pujian dan bertepuk tangan. Sontak seisi rumah bertepuk tangan bersama dan tertawa.
Aku benar-benar terharu. Belum pernah ku lihat keluarga yang damai seperti ini, meskipun mereka serba kekurangan. Kerukunan tetap yang paling utama. Tempat tinggal yang sempit, jelek, dan kotor tak pernah meredupkan semangat hidup mereka yang membara. Semangat hidup di tengah bengisnya ibukota hanya untuk mencari sesuap nasi.
Rumah yang terdiri dari ruangan itu seolah menjadi saksi kehidupannya yang sederhana dan seolah tempat yang nyaman untuk melepas penat.
Si dekil meletakkan ku begitu saja di atas meja serba guna. Ku bilang meja serba guna karena sepenglihatan ku hanya ada satu meja itu saja dalam rumah. Itupun sudah penuh dengan buku, mainan adiknya, pirin, sendok, dan perabotan lainnya.
“Kak, kenapa hapenya diletakkan begitu saja? Coba telpon bapak kak, bagaimana kabarnya, kapan ia pulang? Aku sudah sangat rindu, kata emak besok, besok, dan besok, tapi sampai sekarang kenapa belum pulang juga?” harap si kecil.
Si dekil tak bisa menjawab, raut mukanya tiba-tiba berubah  menjadi sedih. Sang ibu pun diam saja, ada sesuatu yang jatuh dari matanya. Sesegera mungkin ia menyekanya, dan menatap lngit-langit rumah. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari kedua anak kecil itu.
Malam semakin larut. Semua terlelap dalam mimpinya. Namun si dekil masih saja tak bisa tidur. Ia memandangi foto laki-laki yang ku tebak bapaknya. Air matanya bertetesan, ia mulai berbicara sendiri.
“pak, aku tak tau apa yang harus aku jelaskan pada adik-adik ketika mereka mengungkapkan kerinduannya. Aku tak sanggup jika harus memberi tahu yang sebenarnya bahwa bapak telah menghadap Tuhan. Akupun sangat rindu,” curhatnya.
Tak lama kemudian si dekil menguap, dan tertidur. Aku tak tega melihat mereka begitu tegarnya menanggung beban hidup tanpa mengeluh sedikitpun meski tak ada sosok ayah di sampingnya.
Selama ku tinggal di sini, aku jadi hafal rutinitas yang dilakukan keluarga itu. Tiap pagi si dekil bekerja sebagai pencopet dan pulang hingga sore hari. Kadan juga sampai larut malam tanpa membawa sepeser uang pun. Sang ibu bekerja sebagai pemulung yang mengorek-orek sampah untuk menemukan benda-benda yang bisa dijualnya. Sementara si kecil dan kakaknya bermain di rumah untuk menjaga ku.
Hari ini merupakan hari terakhir si dekil membawaku, siang nanti ia harus menyerahkan ku pada orang yang dipanggilnya abang waktu itu. Diletakkannya diriku dalam saku bajunya. Pagi ini ia beraksi di sebuah pasar tradisional. Matanya sudah mulai liar untuk mencari mangsa. Ku lihat matanya menatap seorang ibu tua yang menenteng dompet berukuran besar.  Pasar dalam keadaan ramai, ketika mangsanya itu sedang lengah, ia merebut dompet dan berlari. Namun ibu itu berteriak keras.
“ copet… copet… copet…  tolong …”, teriaknya keras.
Sontak orang-orang di sekitarnya mengejar si dekil dan mengeroyoknya. Aku terlempar jauh ke dalam selokan. Untunglah selokan ini tak ada airnya. Aku tak bisa melihat si dekil lagi. Selokan ini terlalu dalam.
Selama beberapa jam tak seorangpun melihat ku. Hingga akhirnya ku mendengar suara laki-laki dan perempuan yang sedang bertengkar. Entah apa yang mereka pertengkarkan. Tiba-tiba sebuah cincin menggelinding dan berhenti di dekat ku.
Seorang laki-laki mengambil cincin itu dan kaget ketika melihat ku. Ia mengambil ku pula dan memasukkan ku ke dalam saku celananya. Sesampainya di rumah, ia mengeluarkan ku dan mengganti kartu ku dengan kartunya.
Wah, mujur tenan awakku, iki kan hape seng tak kemeceri, sesok tak pamerke ayang ku ah, menowo ora nesu meneh.” 1 Katanya girang.
Aku tak faham apa yang ia bicarakan. Ia menyalakan TV dan memainkan games dalam diri ku. Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.
Dalem, nggeh pak, sekedap.”2 Jawabnya.
Kemudian ia menaruh ku di meja dekat TV.
Seorang wakil rakyat di duga terjerat kasus korupsi. Namun kini ia sudah jatuh miskin. Diduga kasus ini ada kaitannya dengan model wanita yang sedang naik daun berinisial G. Di hari yang  sama tertangkap pula pencopet di pasar tradisional Mekar Sari. Tersangka dihajar masa hingga babak belur. Beruntung polisi segera mengamankannya setelah satpam di pasar setempat melapor. Tersangka mengaku mencopet karena desakan ekonomi…” Terdengar jelas suara reporter melaporkan berita.

Keterangan:
1.      “Wah, beruntung benar diriku, ini kan hape yang aku idam-idamkan, besok mau ku pamerkan pada sayangku, siapa tau dia nggak marah lagi”
2.      “Iya pak, sebentar”