Kadang-kadang
aku berfikir, mengapa tidak ada yang mau seperti aku ya? Aku ini adalah seorang
gendut yang mungkin baik, tapi mungkin juga jahat. Aku tidak pernah panic. Aku tidak
mau berlomba-lomba ke atas sana. Di bawah sini rasanya lebih nyaman. Anginnya tidak
sebesar di atas sana. Sisiran rambutku tidak mudah kusut jika aku tetap berdiri
di bawah sini. Aku masih bisa menikmati suara-suara yang selalu membisikkan
sesuatu ke dalam otak dan pikiranku.
Suara itu pernah berkata:
“Biar saja kau begini. Biar saja kau berteman dengan tembok-tembok disekitarmu. Tembok-tembok itu selalu mau menerima apapun yang kau tulis. Tembok-tembok itu akan selalu bersedia kau corat-coret dengan tulisan burukmu, itupun jika kau kehabisan kertas. Kalau saja ada yang tidak setuju dengan pemikiranku, itu boleh-boleh saja.”
“Biar saja kau begini. Biar saja kau berteman dengan tembok-tembok disekitarmu. Tembok-tembok itu selalu mau menerima apapun yang kau tulis. Tembok-tembok itu akan selalu bersedia kau corat-coret dengan tulisan burukmu, itupun jika kau kehabisan kertas. Kalau saja ada yang tidak setuju dengan pemikiranku, itu boleh-boleh saja.”
Aku tidak akan
pusing dengan semua ini. Hanya malaikat kematian yang mampu menghentikanku
meludahi kertasku dengan ledakan perasaan yang selalu kutumpahkan lewat
tulisanku. Nada-nada minorku selalu mau berteman baik dengan aku. Walaupun sang mayor kadang-kadang
menjadi bahan pemikiranku yang ruwet. Aku tidak perlu pandai menggauli
melodi-melodi mayor.
Sudah sepuluh
tahun aku mengunjungi dunia seni ini. Banyak yang aku dapat pelajari dari semua
ini. Aku mensyukuri semua keberhasilanku, kehancuranku, dan kegagalanku. Aku hanya
ingin pengabdianku tidak sia-sia. Jika kamu enggan menikmatinya, mungkin anak
cucuku kelak mau menikmati jerih payahku. Teruskan saja latihanmu itu, jangan
hiraukan aku. Aku akan tetap duduk disini, kau tidak akan menemukan kesulitan
dalam mencariku.
Aku ada disitu,
ya . . . di situ, di dalam dadamu. Ada sebuah ruangan sempit tak berwarna, tak
bercahaya, dan tak juga wangi. Aku ada di belahan jiwa, sisi lain yang tak
pernah kau sadari. Sisi yang sangat lembab dan dingin, sisi yang sangat peka,
sisi abu-abu, tidak putih dan tidak juga hitam.
Memang aku
seperti itu, jika kamu mengumpamakan aku seperti sesuatu yang ada di dirimu? Ya
aku adalah kalbumu yang jahat dan baik. Ah . . . sebentar, aku kurang setuju
dengan kalimat jahat itu, karena aku tidak merasa jahat. Mungkin lebih tepatnya
aku seperti buah durian. Ya ya . . . buah durian, tepat sekali itu. Kulitnya berduri,
susah dikupas, tapi rasanya enakkk sekali, itupun kalau kau beruntung. Karena banyak
juga durian yang dalamnya busuk.
Sebagian orang
menyukai buah durian, tapi sebagian lagi tidak menyukainya, bahkan terkadang
mereka muntah ketika mencium baunya. Durian itu keras kepala, sama seperti aku.
Durian itu tidak mau disembunyikan. Walaupun orang-orang menyimpannya di tempat
yang paling rahasia, tetap saja baunya akan tercium dan membukakan tempat
rahasia itu.
. . . . . .
Sekarang aku
sedang marah pada seseorang. Kemarahanku ini sedang aku tumpahkan pada karyaku
yang sebentar lagi bisa kamu nikmati. Itulah seniman. Semakin terpuruk, semakin
dicaci, semakin disakiti, semakin ditekan, maka karyanya akan semakin mengalir
deras, sederas aliran darah dalam tubuhmu.
Kalau kau tidak
punya darah, lebih baik kau tutup bukumu dan kembali menjadi diri yang pucat
tak berisi. Kau tidak akan bisa menikmati tulisanku itu bila kau tidak punya
darah. Karena tulisanku terlalu bergolak, terlalu bagus untuk dinikmati oleh
orang-orang pucat tak bernyali untuk melakukan sesuatu yang gila.
prolog buku Arrrrgh... karya Melly Goeslow
Post a Comment